PESAN KE 6

April 17, 2020

Pesan ke 6


“Kita butuh sendiri meresapi keheningan dan menikmati keterasingan”

Beberapa hari tak menulis membuatku merindukan kalian dan kalian tentunya pasti juga rindu kan, sungguh kebangetan kalau tidak rindu. Kali ini kita akan membahas tentang arti “sendiri”. tau kah kalian teman sejati adalah kesendirian tak peduli kau memilki banyak teman yang berada di sekitar kalian atau beribu teman di media sosial kalian, pada satu titik kalian tetap akan sendiri dan merasa kesendirian. Sendiri dan merasa kesendirian itu hal yang berbeda loh, kalian bisa berada pada tempat keramaian entah itu pasar, mall atau cafe namun kalian bisa merasa kesendirian, kesepian dan hampa namun belum tentu merasa kesendirian ketika sendiri. Ini memeng sedikit memusingkan ketika kalian membacanya haha, namun kalau kalian pahami kalian akan mengerti. Aku sering mencoba menepatkan diri pada situasi itu, menyendiri mencoba menikmati kesepian. ohya, aku ada sebuah cerita tentang perjalanan untuk menyelami kesendirian kalian harus dengar begini ceritanya.

Dulu waktu aku berumur... hmmm berapaya? entahlah aku lupa, aku pernah pergi kesuatu pulau menaiki sepeda sendirian kau tau nama pulaunya apa... tentu saja kau tak tau kan aku belum memberi tahu haha. Ok baiklah jangan emosi nama pulaunya pulau Tidung. Pulau Tidung termasuk dalam gugusan kepulauan Seribu dan masih masuk dalam wilayah administrasi Jakarta. Rencana untuk berangkat ke pulau Tidung mencuat karena aku sudah begitu jenuh dengan hiruk pikuk ibu kota dan aku juga merasa ada sesuatu yang kosong di dalam dada ini jadi aku putuskan untuk sejenak mencari ketenangan.

Langkah awal aku mencari informasi di google bagaimana akses penyebrangan kesana dan jam berapa keberangkatan kapal serta harga tiket kapal semuanya aku pelajari lebih dulu, biarpun bapakmu ini orangnya spontanitas tetapi untuk persiapan dalam perjalanan aku selalu menyiapkannya dengan matang. Setelah mendapatkan semua info aku mempersiapkan semua peralatan mulai dari tenda untuk ngecamp, logistik, nesting dan  peralatan masak. Baiklah, waktu untuk berangkat telah tiba aku lupa kapan tanggal dan hari keberangkatan namun yang pasti itu bukan hari libur bukan sabtu atau minggu, aku lupa hari apa yang aku inggat waktu itu aku berangkat jam 3 pagi dengan perasaan gugup serta beberapa ketakutan haha (pagi itu aku benar-benar tertawa sendiri). Aku tak menyangka ketika akan berangkat ada perasaan takut dan ragu namun aku tetap mengayuh sepeda keluar dari gang sempit indekos. Kayuhan demi kayuhan tak terasa aku sudah jauh meninggalkan kosan sempit tempat selama ini bersemedi. Pagi itu jalanan masih sangat lengang udara sangat segar sudah lama rasanya tidak menghirup udara sesegar itu, bukan apa apa aku jarang bangun sesubuh itu selama di Jakarta hehe sekalipun bangun palingan hanya berguling lagi di kosan sempit dan kasur tipis tempat aku merebahkan mimpi. Waktu subuh sudah berkumandang aku berhenti di pombensin Jakarta Utara kalau tidak salah nama daerahnya pluit. Sholat subuh sarapan dan sedikit bersih-bersih diri, tau tidak di pom bensin ini airnya terasa sedikit asin saat wudhu cuci muka rasanya tidak nyaman apalagi saat kumur-kumur.

Perut sudah aman saatnya kembali melanjutkan perjalanan karena harus sampai sebelum jam tujuh pagi di dermaga Muara Angke, yaaps itu adalah nama pelabuhan tempat penyebranganya.  Setengah enam aku sudah sampai di dermaga walaupun sedikit nyasar ke pasar pelelangan ikan yang tadinya aku kira dermaga hahaha, aku mengira dermaga karena dari kejauhan terlihat ramai dan banyak perahunya. Berputar kembali setelah tau kalau dermaganya sudah terlewatkan pada pertigaan seharunya aku belok kiri namun tetap lurus. Sesampai di dermaga dan tiket sudah di tangan kalau tidak salah harganya waktu itu Rp 45.000 cukup bersahabat di kantong seorang mahasiswa gabut, jomblo dan tak punya tujuan hidup. Pukul delapan kapal berangkat sepeda sudah naik dan ditempatkan di depan dek kapal. Aku mencoba merebahkan diri di bangku belakang kapal tidur sejenak. Saat tersadar matahari sudah terlihat mulai meninggi sudah jam 10 pulau masih belum terlihat ingin kembali memejamkan mata namun deburan ombak di samping kapal menarik perhatianku. Termangu di samping kapal menatap ke bawah dan merenung sejenak, aku masih ingat bagaimana pikiran yang berkecamuk ikut menari-nari seperti bulir buih ombak yang menghantam dinding kapal. Lamunan terhenti ketika mulai menyadari kapal tak lama lagi akan bersandar di dermaga Tidung. Butuh lima jam untuk menyebrang dari muara Angke ke Tidung. Penumpang mulai turun satu persatu aku mulai bergegas menuju dek depan melepas ikatan sepeda mengangkatnya turun kembali menapak daratan, awalnya sedikit pusing sampai daratan rasanya tubuh masih terombang ambing maklum jarang naik kapal apalagi sampai lima jam untung saja tidak mabuk laut pengenya sih mabuk cinta hehe.

 Pulau Tidung ternyata cukup ramai tidak seperti yang aku bayangkan di sini juga ada sekolah, kantor polisi dan balai konservasi sangat menarik terlebihlagi pantainya cukup bersih. Sepeda kembali aku kayuh menuju Tidung kecil tempat akan mendirikan tenda. Ohya,  Pulau Tidung itu terbagi dua yaitu Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Pulau Tidung Besar tempat dermaga dan rumah penduduk bermukim sedangkan Pulau Tidung Kecil difokuskan untuk konservasi dan tidak dihuni oleh masyarakat hanya ada balai konservasi. Tidung Kecil tak begitu jauh dari dermaga kita harus menyebrang melalui jembatan yang sudah tersedia dan cukup lebar namun jika jalan kaki lumayan melelahkan juga sih. Setelah sampai di Tidung kecil aku harus mendaftar dulu di balai konservasi dan membayar uang kebersihan nominalya sangat murah hanya Rp 5000, di balai konservasi sudah tersedia toilet dan kamar mandi pokoknya keren banget. Di teras balai konservasi aku berbincang sejenak dengan Pak de (entahlah namanya siapa aku lupa) ia penjaga konservasi ini, awalnya pertanyaan basi basi dia lontarkan tentang asal dan pendidikan namun ada satu hal yang membuatku tertawa yaitu tentang pertanyaanya yang tak terduga.

Pak de “Sampean mau narik pusaka ya?”.

“ha?, apa pak de?” tanyaku lagi takutnya salah dengar.

Pak de “menarik benda pusaka di sini ada makam panglima hitam, sering loh orang ziarah kesana kadang ada juga yang narik ilmu”.

“Hahah... engak pak de saya cuman liburan doang” jawabku dengan cengar cengir.

“Masa sampean pergi liburan sendirian” ujar pakde dengan ekspresi polos.

“Tadinya ingin bareng temen pak de tapi dia ngak bisa jadinya saya jalan sendiri aja” tangap ku dengan senyum, “apa muka gua kayak dukunya?” gumamku dalam hati.

Obrolan ditutup dengan jabat tangan dan tawa lalu Pak de menunjukan jalan menuju lokasi dimana aku bisa mendirikan tenda. Lokasi untuk mendirikan tenda sangat strategis menghadap langsung ke laut dan disekelilingnya ada pohon sehinga rindang tak panas. Di lokasi aku melihat satu tenda ukuran 5-6 orang telah berdiri, aku mendekat dan berkenalan dengan penghuni tenda yang ternyata mereka ramai sekali kalau tidak salah lebih dari sepuluh orang. Taukah kalian bapakmu ini dalam urusan berteman dan berkenal dengan orang baru sangat jago tak butuh waktu lama aku bisa akrab dengan mereka, bercengkrama tertawa dan berbagi cerita bersama. Melalui obrolan dan perkenalan terungkap ternyata mereka anak pesantren yang sedang kabur dari pesantren untuk berlibur haha.

Matahari mulai beranjak keperaduan aku beranjak dari tenda mencoba mencari kayu bakar di hutan sekitar konserfasi sebenarnya ada perasaan takut, takut kalau ketemu ular soalnya lantai hutan di tumbuhi semak-semak yang cukup tinggi  kan tidak lucu kalau tiba-tiba dipatok ular. Ohya, di hutan tidung untuk pertama kalinya aku melihat burung gagak dan suaranya seram kayak orang keselek biji rambutan seram kan.

Malam mulai menjelang kayu selesai ditumpuk dan dinyalakan ini adalah bagian paling kusukai dari berkemah menbuat api ungun. Bodohnya aku api ungun yang aku nyalakan terlalu dekat dengan tenda api cepat membesar karena tiupan angin dari laut, bergegas tenda kutarik mundur menjauhi api ungun. Api ungun selalu jadi penarik dalam setiap perkemahan, anak pesantren disamping tendaku mulai berdatangan dan kita mulai duduk mengelilingi api ungun sambil bercerita sampai api padam kahabisan kayu untuk dibakar. Jam sembilan aku mencoba berbaring sambil memutar lagu di handphone sampai jatuh terlelap.

Gelegar petir ditambah deburan ombak dan angin dari laut sangat kencang membuatku terbangun kulihat handphone jam sebelas. Kujulurkan kepala keluar tenda melihat kondisi ombak, takut kalau ombak sampai mencapai tenda namun sukur masih jauh. Ku arahkan pandangan ke langit tampak kilatan petir dan awan hitam pengumpal serta angin kencang membuat tenda semakin bergoyang. Aku mencoba memanggil tetangga yang berada di tenda sebelah, satu kali teriakan tidak ada jawaban dua kali tiga kali masih tidak ada jawaban, aneh rasanya kalau mereka selelap itu. Kuputuskan lebih mendekat sambil berdiri di sebelah tenda aku masih memanggil namun tetap tak ada jawaban, kulihat kelangit awan hitam semakin dekat dan kilatan petir semakin menyeramkan kuputuskan membuka tenda mereka namun di dalamnya kosong sontak saja perasaan yang tadinya tenang beranjak mulai panik. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasa terperangkap dalam kondisi seperti pada film-film horor dengan efek angin kencang, kilatan petir, awan hirtam dan deburan ombak yang begitu keras, bergegas menuju tenda aku sambar senter dan kain sarung lalu menuju lokasi balai konservasi. Dalam perjalanan menuju balai konservasi alam sepertinya bersepakat mengerjaiku senter yang kubawa mendadak mati entah apa penyebabnya, tepat berada di bawah rindang pohon aku berhenti dan menatap kelangit “oh begini rasanya takut, rasanya seperti sedang suting film horor tingal nungu setanya aja muncul nih haha” berbicara dan tertawa pada diri sendiri untuk mengurangi rasa tegang. Flash pada handphone kunyalakan mengantikan senter yang mati, rumah konservasi sudah terlihat dengan sedikit berlari aku mendekat. Ketika dampai di depan pintu sontak hujan turun di iringi suara petir yang mengelegar, ini benar-benar seperti adegan dalam film dimana ketika pemeran utamanya sampai di tempat berteduh hujan langsung turun dengan suara petir mengelegar dalam hatipun aku merasa tidak percaya alam seperti bersekutu mengerjaiku.

Dalam balai konservasi  kulihat pak de sedang menyeduh kopi dan tetanga sebelah tendaku ada yang menyeduh mie dan sebagian nonton tv. Pak de menyuruh masuk ketika melihat aku tiba dan menawarkan segelas kopi, “kirain sampean tidur di sana” kata pak de sembari membawa gelas kopi.

“tadinya mau di tenda pak de tapi pas liat tenda sebelah kosong jadi akhirnya kesini hehe” jawabku sambil mengambil gelas kopi yang diberikan pak de.

“abang tadi aku pangil-pangil tapi abang gak jawab” saut salah seorang tetangga sebelah tenda yang tega meningalkanku haha

“ oh iya bang, tadi ketiduran tapi kebangun dengar suara petir, pas keluar cek tenda abang di pangil-pangil ngak ada yg nyaut buka tenda abang eh di dalamnya ada kucing” ohya aku lupa bilang di dalam tenda mereka aku lihat ada kucing, eh tapi itu kucing beneran ngak ya?

Mereka merasa tidak ada yang memasukan kucing, aku positif thinking aja siapa tau kucingnya mencari tempat berteduh tapi satu sisi logikaku berkata tidak mungkin kucing bisa masuk dalam tenda yang pintunya di resleting. Ah, bodo amat pikirku sambil menyeruput kopi dan memulai obrolan dengan pak de, “plis pak de jangan tanya apa aku berhasi menarik benda pusaka atau semacamnya, jangankan ke makam panglima hitam melihat kepulan awan hitam saja sudah mengerikan” gumamku dalam hati.

Sampai sini dulu besok kita sambung lagi, ingat jangan nakal dan buat ibu kalian susah kalau makan jangan pilih-pilih apa yang dimasak harus kita nikmati kalau tidak ada yang bisa dinikmati nanti kita bikin indomie. 

You Might Also Like

0 komentar

Contact Me

Nama

Email *

Pesan *